Nasional, Kediri - Puluhan warga penghuni bekas lokalisasi prostitusi Semampir di Kota Kediri, Jawa Timur, Senin, 5 Desember 2016, berunjukrasa ke kantor DPRD setempat. Mereka menolak penggusuran oleh Pemerintah Kota Kediri, meski telah menyatakan berhenti praktik.

Warga dari lingkungan RW 05 Kelurahan Semampir itu didampingi sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan pengacara. Mereka memprotes rencana pengosongan lahan yang saat ini dihuni 261 kepala keluarga atau 680 jiwa.

Pemerintah Kota Kediri memberi tenggat waktu hingga 10 Desember 2016 untuk mengosongkan eks lokalisasi prostitusi itu. Jika warga tidak bersedia, maka akan dilakukan pengosongan secara paksa. “Kami akan mempertahankan rumah leluhur kami,” kata perwakilan warga, Mohamad Yusuf Khodin, saat bertemu anggota DPRD.

Menurut Yusuf, warga menolak rencana Pemerintah Kota Kediri mengubah bekas lokalisasi prostitusi menjadi kawasan terbuka hijau. Warga berdalih tak memiliki tempat tinggal pengganti bila diusir dari tempat itu. Selain itu, sejumlah warga mengaku telah memiliki sertifikat hak milik atas rumah yang mereka tempati.

Yusuf menjelaskan, dia dan seluruh warga telah bersepakat dengan pemerintah untuk menghentikan kegiatan prostitusi. Bahkan melalui surat pernyataan bersama yang ditandatangani para ibu-ibu, mereka berjanji untuk tak lagi melakukan praktik prostitusi maupun menyediakan fasilitas prostitusi. Atas dasar itu warga berharap masih bisa menempati rumah mereka yang berlokasi di kawasan bantaran Sungai Brantas itu.

Kuasa hukum warga, Sugiarto, menjelaskan tenggat waktu yang diberikan Pemerintah Kota Kediri tak bisa dilaksanakan karena masih terganjal proses hukum. Saat ini warga sedang mengajukan gugatan atas keputusan Wali Kota Kediri ihwal pengosongan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dan akan segera disidangkan. “Selama belum ada putusan pengadilan pemerintah tak boleh mengusir warga,” ujarnya.

Sugiarto mengatakan, sertifikat hak milik yang dipunyai warga resmi dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kediri. Hal inilah yang sedang dikaji oleh pengadilan untuk menentukan sah tidaknya keputusan pengosongan lahan itu.

Utusan BPN Kediri, Bagyo yang hadir menemui warga, menjelaskan status lahan di sepanjang bantaran Sungai Brantas itu adalah tanah eigendom. Mengacu pada Undang-Undang Agraria, siapapun berhak mengajukan hak atas tanah kepada negara, baik kepemilikan maupun usaha.

Namun menurut Bagyo, pada 1986 Pemerintah Kota Kediri telah mengajukan hak atas lahan itu. “Sehingga hak atas lahan berada pada pemerintah, di luar lahan yang sudah disertifikatkan oleh warga,” ucap Bagyo.

Proses mediasi yang difasilitasi DPRD Kota Kediri sempat memanas. Ketua Komisi B Nurudin Hasan dengan tegas menuding pemerintah arogan. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menyebut Kepala Biro Hukum Pemerintah Kota Kediri tidak paham mekanisme pembuatan SK Walikota yang harus melibatkan Dewan. “Selama ini kami juga tak pernah diajak ngomong soal penggusuran itu,” tuturnya.

Nurudin menyatakan penolakannya terhadap rencana pengosongan lahan bekas lokalisasi itu. Dia mengingatkan, jika pengosongan dilakukan akan memicu terjadinya lonjakan pengangguran yang berdampak pada kemiskinan warga.

Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Kediri, Maria Karangora, kukuh untuk terus menghadapi gugatan warga. Pemerintah Kota Kediri, kata dia, juga tetap pada rencananya mengosongkan lahan. “Dari seluruh wilayah di Jawa Timur, hanya Kota Kediri yang belum tuntas melakukan penutupan lokalisasi,” ujarnya.

HARI TRI WASONO

Baca juga:
Sidang Pengadilan Ahok Kamis, 13 Jaksa Siapkan Dakwaan
Eksklusif: Ini Bukti Sri Bintang Pamungkas Cs Diduga Makar
Wiranto Sebut Hal Ini Bisa Hentikan Demo Tolak Ahok